HASIL.PENELITIAN.DAN.PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Daerah
Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa dimana Kota Semarang merupakan ibu kota provinsi ini. Posisi ini membuat Jawa Tengah berada di lokasi strategis secara geografi dan geologi. Jawa Tengah diapit oleh tiga provinsi, laut, dan samudera. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak di antara 6° dan 8° Lintang Selatan dan antara 108° dan 111° Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah Provinsi Jawa Tengah antara lain :
- Utara : Laut Jawa
- Selatan : Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Samudera Hindia
- Barat : Provinsi Jawa Barat
- Timur : Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa. Luas wilayahnya 32.544,02 km², atau sekitar 28,94% dari luas pulau Jawa. Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas yang ada di Provinsi Jawa Tengah dengan luas 2.138,51 km2, sedangkan Kota Magelang merupakan daerah terkecil dengan luas 18,12 km2. Berikut merupakan luas wilayah menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Tabel 1. Luas Wilayah menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2019
Secara geologi, Provinsi Jawa Tengah berada pada jalur pegunungan muda (ring of fire) dunia sehingga memiliki banyak gunung berapi aktif, yakni Gunung Slamet dan Gunung Sumbing. Kondisi ini membuat daerah di sekitar gunung tersebut diperuntukan pertanian dan perkebunan.
Secara adiminstratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi atas 29 kabupaten dan 6 kota yang membawahi 573 kecamatan . secara keseuluruhan di Jawa tengah terdapat 7.809 desa dan 750 kelurahan. Sehingga menjadikan Provinsi Jawa Tengah sebagai provinsi dengan jumlah kelurahan/desa terbanyak di Indonesia.
Pertanian merupakan sektor utama perekonomian Provinsi Jawa Tengah, di mana mata pencaharian di bidang ini digeluti hampir separuh dari angkatan kerja terserap. Kawasan hutan meliputi 20% wilayah provinsi, terutama di bagian utara dan selatan, yakni daerah Rembang, Blora, Grobogan yang merupakan penghasil utama kayu jati. Provinsi Jawa Tengah juga terdapat sejumlah industri besar dan menengah. Daerah Semarang-Ungaran-Demak-Kudus merupakan kawasan industri utama di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Kudus dikenal sebagai pusat industri rokok. Di Kabupaten Cilacap terdapat industri semen. Kota Solo, Kota Pekalongan, Juwana, dan Lasem dikenal sebagai kota Batik yang kental dengan nuansa klasik. Blok Cepu di pinggiran Kabupaten Blora (perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah) terdapat cadangan minyak bumi dikenal sebagai daerah tambang minyak. (Sumber : Kemendagri, 2015)
Kependudukan
Provinsi Jawa Tengah dikenal sebagai “jantung” budaya Jawa. Namun, di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi ini. Mayoritas penduduk Provinsi Jawa Tengah didomonasi perempuan sebanyak 17.389.029 jiwa, sedangkan laki-laki hanya berjumlah 17.101.806 jiwa. Berikut merupakan tabel jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah:
Tabel 2. Jumlah penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2018
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2019
Kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018 mencapai 1,060 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di 35 kabupaten/kota cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kota Surakarta dengan kepadatan sebesar 11.762 jiwa/km2 dan terendah di Kabupaten Blora sebesar 480 jiwa/km2
Perumahan dan Lingkungan
Kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang adalah papan. Papan dalam hal ini adalah kebutuhan akan rumah tempat tinggal yang layak baik dari segi fisik, fasilitas maupun lingkungannya. Terdapat beberapa kriteria rumah tinggal yang harus dipenuhi sehingga dapat dikategorikan ke dalam rumah yang layak huni sebagai tempat tinggal. Kriteria tersebut diantaranya yaitu rumah yang memiliki dinding terluas yang terbuat dari tembok atau kayu, dengan beratapkan beton, genteng, sirap, seng maupun asbes, dan memiliki lantai terluas bukan tanah. Data hasil Statistik Perumahan 2017/2018 menunjukan bahwa persentase rumah tangga yang bertempat tinggal di rumah yang berlantaikan bukan tanah menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2017, rumah yang berlantaikan bukan tanah sebesar 93,48% atau mengalami kenaikan bila dibandingkan pada tahun 2016 yang sebesar 84,55%.
Tabel 6. Rumah Tangga Menurut Beberapa Indikator Kualitas Perumahan, 2015–2017
Sumber: Indikator Kesejahteraan 2017/2018 Provinsi Jawa Tengah
Indikator lain yang digunakan untuk melihat kualitas perumahan untuk rumah tinggal adalah penggunaan atap dan dinding terluas. Dari hasil Susenas 2016 rumah tinggal dengan atap beton, genteng, sirap, seng, dan asbes mencapai 99,88% dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 99,91%. Kondisi yang sama terjadi pada bangunan rumah tinggal yang menggunakan dinding terluas tembok dan kayu yang juga meningkat dari 94,38% menjadi 95,47% pada tahun 2017.
Kualitas dan kenyamanan rumah tinggal ditentukan oleh kelengkapan fasilitas suatu rumah tinggal. Fasilitas perumahan yang penting adalah penerangan. Sumber penerangan yang ideal berasal dari listrik (PLN dan Non-PLN). Berdasarkan hasil Susenas tahun 2017, sebanyak 99,91% rumah tangga telah menikmati fasilitas penerangan listrik, angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2016 (99.88%). Jika dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, pada tahun 2017, rumah tangga yang menggunakan listrik di perkotaan sebanyak 99,96%, sementara didaerah perdesaan sebanyak 99,86%.
Pada tahun 2017, rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah yang menggunakan air kemasan, air isi ulang, dan air ledeng sebagai sumber air minum dan masak mencapai 39,17%. Terlihat perbedaan yang sangat signifikan bila dibedakan menurut daerah tempat tinggal. Hal ini terlihat dari rumah tangga di daerah perkotaan dalam mengkonsumsi air kemasan, air isi ulang dan air dari ledeng yang mencapai 50,48%, sementara diperdesaan hanya 28,46%.
Tabel 8. Persentase Rumah Tangga Menurut Beberapa Fasilitas Perumahan , 2015–2017
Sumber: Indikator Kesejahteraan 2017/2018 Provinsi Jawa Tengah
Penyediaan sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting peranannya. Jika ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, pembuangan kotoran manusia yang tidak memenuhi standar sanitasi yang baik akan mencemari lingkungan terutama tanah dan sumber air. Fasilitas rumah tinggal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah ketersediaan jamban sendiri dengan tangki septik. Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah perdesaan berbeda dengan teknologi jamban di daerah perkotaan. Selama tahun 2016-2017 persentase rumah tangga yang memiliki jamban sendiri dengan septik tank menunjukkan tren penurunan baik di daerah perkotaan maupun di perdesaan.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah tipologi permukiman terbagi menjadi permukiman kawasan perkotaan dan permukiman kawasan perdesaan. Luas lahan yang diperuntukan fungsi permukiman pada tahun 2019 mencapai 5.592 km2 atau sekitar 17% dari seluruh luas Provinsi Jawa Tengah digunakan untuk kawasan permukiman. Berikut grafik luas permukiman di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018 :
Grafik 1. Grafik Luas Permukiman di Provinsi Jawa Tengah tahun 2018
Gambar 1. Gambar persebaran permukiman di Jawa Tengah.
Gambar 2. Gambar persebaran permukiman perkotaan dan perdesaan
Persebaran permukiman di Provinsi Jawa Tengah tersebar merata di kabupaten/kota serta di dominasi oleh permukiman kawasan perdesaan yang mencapai 409.147,23 ha atau sekitar 73%. Sedangkan sebanyak 150.085,4 Ha merupakan permukiman perkotaan. Meskipun angka permukiman perdesaan lebih luas dari pada permukiman kawasan perkotaan, akan tetapi persebaran permukiman perdesaan cukup merata di seluruh kabupaten. Sehingga pola permukiman yang terbentuk adalah permukiman dengan kepadatan rendah dan sedang. Sedangkan pada permukiman perkotaan membentuk pola permukiman padat. Berikut data masing-masing luas permukiman di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Tabel 3. Luas Permukiman di Provinsi Jawa Tengah tahun 2018
Sumber : http://si.disperakim.jatengprov.go.id/kawasan_permukiman/permukiman
Pembangunan rumah di Provinsi Jawa Tengah berupa rumah formal dan rumah informal. Rumah formal merupakan jenis rumah yang dibangun oleh pelaku pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hunian. Penyediaan rumah formal terbagi menjadi dua, yaitu yang dibangun oleh pengembang dan pemerintah. Penyediaan rumah formal melalui pengembang diperankan oleh REI (Real Estate Indonesia). Pengembang menggunakan konsep pembangunan perumahan yang bersifat gated community dan primary market.
Pembangunan hunian tempat tinggal oleh pemerintah berupa rumah susun sederhana, rumah dinas, dan lainnya. Sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hunian, pemerintah turut serta dalam memfasilitasi penyediaan rumah terjangkau khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendapatkan hunian layak dan mengurangi gap antara kebutuhan dan ketersediaan. Setiap kabupaten/kota memiliki rumah susun sederhana dengan jumlah yang berbeda-beda. Total Rumah Susun di Provinsi Jawa Tengah mencapai 173 unit, dengan jumlah terbanyak berada di Kota Semarang, Kabupaten Magelang, dan Kota Surakarta. Berikut persebaran rumah susun di Provinsi Jawa Tengah, yakni :
Tabel 4. Jumlah Rumah Susun di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2018
Sumber : http://si.disperakim.jatengprov.go.id/perumahan/rusun
Tipologi dan pola permukiman di Provinsi Jawa Tengah juga tidak terlepas dari beberapa masalah seperti permukiman kumuh. Menurut Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Provinsi Jawa Tengah mencatat, terdapat lima kabupaten/kota di Jawa Tengah yang mempunyai kawasan kumuh terluas. Urutan kelima wilayah tersebut adalah Kabupaten Pemalang ( 974 Ha), Kabupaten Pekalongan (671 Ha), Kabupaten Tegal (487 ha), Kota Semarang (415 ha) dan Kabupaten Demak (368 Ha). Kelima kabupaten/kota tersebut merupakan daaerah dengan tingkat urbanisasi yang tinggi dikarenakan sebagai pustat kota, kawasan industri, dan kawasan strategis provinsi. Sehingga kategori penentuan kumuh pada kabupaten dan kota tersebut cukup berkorelasi dengan kondisi pola permukiman padat, jumlah penduduk, dan ketersediaan PSU di kawasan tersebut. Berikut data permukiman kumuh di Provinsi Jawa Tengah, yakni :
Tabel 4. Luas permukiman kumuh di Provinsi Jawa Tengah tahun 2016
Sumber : http://si.disperakim.jatengprov.go.id/kawasan_permukiman/permukiman
Grafik 2. Grafik luas permukiman kumuh di Provinsi Jawa Tengah tahun 2016
Rumah Tidak layak Huni (RTLH)
Munculnya permukiman kumuh di suatu kawasan juga ditandai dengan adanya Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) sebagai kondisi fisik yang mencerminkan dan menggambarkan kumuh di suatu kawasan. Beberapa permukiman kumuh sering ditemukan pada kota-kota besar dengan tingkat urbanisasi yang tinggi serta kondisi ekonomi suatu wilayah. Tingkat kekumuhan suatu daerah juga mempengaruhi jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Permukiman kumuh dan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) menjadi isu permasalahan pada sektor perumahan dan permukiman di Provinsi Jawa Tengah. Berikut angka Rumah Tidak layak Huni di Provinsi Jawa Tengah :
Tabel 5. Jumlah RTLH di Jawa Tengah Pada Tahun 2015
Sumber : http://si.disperakim.jatengprov.go.id/perumahan/rtlh?th=2015
Grafik 3. Statistik Angka RTLH di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015
Dari data statistik tersebut menunjukan Kabupaten Grobogan, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Cilacap sebagai daerah yang memiliki angka RTLH tertinggi. Angka yang cukup tinggi dikarenakan kondisi ekonomi wilayah tersebut. Berdasarkan data jumlah penduduk pra sejahtera di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014, ketiga daerah tersebut berada di garis kemiskinan tinggi. Adanya RTLH di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi arus urbanisasi yang tinggi di kawasan perkotaan. Namun, dipengaruhi juga oleh angka kemiskinan di suatu daerah. angka kemiskinan membuat daya beli masyarakat menurun sehingga mereka tidak dapat memperbaiki kualitas hidup secara mandiri.
Gambar 3. Persebaran Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2014
Pada tahun 2018, pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah melakukan penanganan RTLH di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Penanganan RTLH dari dana APBN diperuntukan untuk perbaikan RTLH sebanyak 7776 unit yang tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan angggaran sekitar Rp 119.925.000.000. Berikut jumlah penanganan RTLH dari dana APBN pada tahun 2018.
Tabel 5. Jumlah Penanganan RTLH di Provinsi Jawa Tengah Pada Tahun 2018
Sumber : http://si.disperakim.jatengprov.go.id/perumahan/rtlh?th=2018
Statistik Perumahan dan Permukiman di Provinsi Jawa Tengah
Hampir 90% Rumah Tangga telah memiliki rumah sendiri pada tahun 2016. Angka ini termasuk hunian layak huni dan hunian tak layak huni. Jumlah rumah tinggal eksisting terbanyak berada di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes, dan Kota Semarang. Kota Semarang sebagai pusat kota dengan kepadatan permukiman yang cukup tinggi membuat angka hunian eksisting yang cukup banyak. Sedangkan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes memiliki luas wilayah yang cukup besar dan hunian tersebar merata di seluruh kawasan sehingga tidak membentuk kesan permukiman kepadatan tinggi. Berikut data kepemilikan rumah di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2016
Tabel 5. Jumlah Kepemilikan Rumah Tinggal di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016
Sumber : BPS Susenas 2016
Grafik 4. Persentase Kepemilikan Rumah Tinggal di Provinsi Jawa Tengah tahun 2016
Grafik 5. Jumlah Rumah Tinggal Eksisting di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016
Sebagian masyarakat di Provinsi Jawa Tengah masih belum memiliki atau tinggal di rumah layak huni. Kebutuhan rumah tinggal di Jawa Tengah mencapai 2,8 juta unit. Sehingga juga mempengaruhi angka backlog di Jawa Tengah yang mana angka tersebut masih terbilang cukup tinggi. Angka Backlog di Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari sisi kepemilikan dan kepenghunian. Pada tahun 2017, angka backlog kepemilikan mencapai 1.126.834 unit dan backlog kepenghunian mencapai 844.197 unit. Berikut angka backlog di Provinsi Jawa Tengah di setiap masing-masing kabupaten/kota :
Tabel 5. Angka Backlog di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017
Sumber : http://si.disperakim.jatengprov.go.id/perumahan/backlog?th=2017
Masalah backlog masih menjadi masalah utama dari penyediaan perumahan di Indonesia terutama di Provinsi Jawa Tengah. Angka backlog dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tingginya angka backlog perumahan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya besarnya pertumbuhan jumlah penduduk, ketidakterjangkauan harga perumahan oleh masyarakat, swasta tidak mau berinvestasi untuk penyediaan perumahan MBR karena harga lahan tinggi, dll. Dari tabel di atas angka backlog tertinggi berada di Kota Semarang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Surakarta. Kota Semarang dan Kota Surakarta sebagai kawasan perkotaan, dengan harga lahan yang cukup tinggi sehingga membuat masyarakat sulit menjangkaunya. Jumlah penduduk yang cukup tinggi membuat angka kebutuhan perumahan juga semakin tinggi. Sehingga gap antara kebutuhan dan ketersediaan rumah di kedua kota tersebut membuat angka backlog yang cukup tinggi.
Sedangkan angka backlog yang tinggi di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Tegal dipengaruhi oleh belum banyaknya pengembang yang hadir dan menyediakan property di kabupaten tersebut, serta kemampuan beli masyarakat yang masih terbatas dan tidak terlalu tinggi. Meskipun kedua kabupaten tersebut memiliki infrastruktur yang memadai, berada di lokasi strategis, dan harga tanah yang dijual cukup terjangkau. Namun kemampuan daya beli properti masyarakat masih rendah.
Grafik 5. Data Backlog Kepemilihan dan Penghunian Rumah di Provinsi Jawa Tengah tahun 2017
Pada masa mendatang jumlah backlog (ketiadaan ketersediaan rumah atas jumlah kebutuhan rumah) di Provinsi Jawa Tengah ini akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan KK akibat terbentuknya keluarga-keluarga baru. Oleh karena itu, perlu kebijakan holistik dan komprehensif untuk mengurangi ketiadaan ketersediaan rumah atas jumlah kebutuhan rumah di Provinsi Jawa Tengah yang cenderung semakin tinggi. Hal ini terutama pemenuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kemiskinan
Dalam konteks perumahan dan kawasan permukiman, kemiskinan menjadi salah satu tolak ukur dalam penyediaan perumahan dan menjadi salah satu indikator dalam penilaian lingkungan kawasan permukiman. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018 mencapai 0,48 %. Terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0,06% dibandingkan pada tahun 2017. Dilihat dari data enam tahun terakhir, jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan tiap tahun. Berikut merupakan data presentase penduduk miskin Provinsi Jawa Tengah:
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2013-2018
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2019
2.Ilmu geografi mempunyai unsur-unsur dasar, antara lain membahas tentang unsur letak, luas, bentuk, batas dan persebaran. Penekanan kajian geografi adalah didasarkan pada pendekatan keruangan yang mempunyai kaitan erat dengan persebaran dari suatu obyek. Dalam mempelajari geografi pariwisata tidak dapat lepas dari faktor geografi yang meliputi faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik meliputi unsur iklim, tanah, geologi, hidrologi, vegetasi, topografi. Adapun faktor non fisik meliputi unsur sosial, ekonomi dan budaya (Sujali, 1989).
Dalam rangka pengembangan tujuan
pariwisata, maka pembangunan pariwisata harus diarahkan pada pemanfaatan sumber
daya alam, makin besar sumber daya alam yang dimiliki suatu Negara, maka
semakin besar pula harapan untuk tujuan pembangunan dan pengembagan
pariwisata.Tujuan pengembangan pariwisata akan berhasil dengan optimal apabila
ditunjang oleh potensi daerah yang berupa obyek wisata, baik wisata alam maupun
wisata buatan manusia. Yoeti (1985), mengatakan bahwa pembangunan dan pengembangan
daerah menjadi daerah tujuan daerah wisata tergantung dari daya tarik itu
sendiri yang dapat berupa keindahan alam, tempat bersejarah, tata cara hidup
bermasyarakat, maupun upacara keagamaan. Sektor kepariwisataan perlu mendapat
penaganan yang serius karena kepariwisataan adalah merupakan kegiatan lintas
sektoral dan lintas wilayah yang saling terkait, di antaranya dengan sektor
industri, perdagangan, pertanian, perhubungan, kebudayaan, sosial, ekonomi,
politik, keamanan serta lingkungan.
Obyek wisata Tawangmangu merupakan
salah satu dari beberapa obyek wisata yang selalu diminati oleh para wisatawan.
Obyek wisata itu antara lain obyek wisata alam Grojogansewu, Balekambang,
Skipan yang berada di Kecamatan Tawangmangu.
Terjadi kesenjangan yang signifikan, dimana potensi Grojogansewu telah di
optimalkan dengan berbagai atraksi
antara lain air terjun sebagai obyek utama juga terdapat kolam renang dan areal
bermain untuk anakanak. Sedangkan obyek wisata disekitar grojogan sewu belum
mendapat perhatian pemerintah untuk dikembangkan seperti penambahan atraksi
pada obyek wisata.
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mengetahui klasifikasi potensi obyek wisata di Kecamatan Tawangmangu, (2)
mengetahui pengaruh obyek wisata Grojogansewu terhadap obyek kecil di sekitar
obyek wisata alam di Kecamatan Tawangmangu; dan, (3) mengetahui prioritas
pengembangan obyek wisata di Kecamatan Tawangmangu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
analisis data sekunder yang dilengkapi dengan survei lapangan. Pengolahan data
menggunakan teknik skoring yang menggunakan 3 variabel yaitu variabel potensi
internal, potensi eksternal, dan potensi fisik pendukung obyek wisata serta
analisis SWOT untuk menentukan arah perkembangan obyek wisata, dengan rincian
seperti Tabel 1. Berikut.
Tabel 1. Variabel Penelitian dan Skoring Obyek Wisata
POTENSI
INTERNAL |
|
VARIABEL |
KRITERIA |
SKOR |
1. Kualitas obyek wisata |
a. |
Daya tarik utama obyek wisata |
‐ Obyek
sebagai penangkap wisatawan ‐ Obyek sebagai penahan wisatawan |
1 2 |
b. |
Kekuatan interaksi komponen obyek wisata |
‐ Kombinasi
alami/buatan yang mampu mempertinggi kulitas obyek ‐ Kombinasi
alami/buatan yang tidak mampu mempertinggi kulitas obyek |
1 2 |
|
c. |
Kegiatan wisata di lokasi wisata |
‐
Hanya kegiatan pasif (menikmati yang sudah ada) ‐ Kegiatan
aktif (berinteraksi dengan obyek) |
1 2 |
|
2. Kondisi obyek wisata |
a. |
Kondisi obyek wisata secara langsung |
‐
Obyek mengalami kerusakan ‐ Obyek sedikt mengalami kerusakan ‐ Obyek belum mengalami kerusakan |
1 2 3 |
b. |
Kebersihan obyek wisata |
‐
Kurang bersih dan tidak terawat ‐
Bersih dan terawat |
1 2 |
|
POTENSI
EKSTERNAL |
|
VARIABEL |
KRITERIA |
SKOR |
1. Aksesibilitas |
a. |
Waktu tempuh |
‐
> 60 menit ‐
30-60 menit ‐
< 30 menit |
1 2 3 |
b. |
Ketersediaan angkutan umum
menuju lokasi |
‐
Belum ada ‐ Tersedia namun tidak regeler ‐
Tersedia dan leguler |
1 2 3 |
|
c. |
Prasarana jalan menuju
lokasi obyek wissata |
‐
Belum tersedia prasana jalan ‐ Tersedia namun kondisi kurang
baik ‐ Tersedia dan kondisi baik |
1 2 3 |
|
2. Fasilitas penunjang obyek |
a. |
Ketersediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan fisik wisatawan :
‐
Makan dan minum ‐
Penginapan ‐
Bangunan untuk menikmati pemandangan |
‐
Belum tersedia ‐ Tersedia 1-2 jenis fasilitas ‐ Tersedia lebih dari 2 fasilitas |
1 2 3 |
b. |
Ketersediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan sosial wisatawan ‐
Sarana ibadah ‐
Taman terbuka |
‐
Belum tersedia ‐
Tersedia 1-2 jenis fasilitas ‐ Tersedia lebih dari 2 jenis
fasilitas |
1 2 3 |
|
3. Fasilitas pelengkap |
Fasilitas terdiri dari : ‐
Tempat parkir ‐ Toilet/WC |
‐
Belum tersedia ‐
Tersedia 1-2 jenis fasilitas ‐
Tersedia lebih dari 2 |
1 2 3 |
|
|
|
fasilitas |
|
|
4. Dukungan pengembang obyek |
a. |
Keterkaitan antar obyek |
‐
Obyek berdiri sendiri ‐ Obyek mendapat dukungan obyek
lain |
1 2 |
b. |
Ketersediaan lahan |
‐
Luas lahan untuk pengembangan terbatas ‐ Luas lahan untuk pengembangan
cukup |
1 2 |
|
c. |
Dukungan paket wisata |
‐ Obyek
wisata tidak termasuk dalam agenda paket wisata ‐ Obyek wisata termasuk dalam
agenda paket wisata |
1 2 |
|
d. |
Promosi obyek wisata |
‐
Belum di promosikan ‐
Sudah di promosikan |
1 2 |
|
POTENSI
FISIK PENDUKUNG
OBYEK WISATA |
|
VARIABEL |
KRITERIA |
SKOR |
1. Kemampuan fisik wilayah sekitasr
obyek wisata |
a. |
Topografi |
‐
Topografi terjal (>30%) ‐
Topografi datar (<30 %) |
1 2 |
b. |
Iklim |
‐
Iklim terlalu dinginatau terlalu panas (<20˚C atau >32˚C) ‐
Iklim sedang (20˚C - 32˚C) |
1 2 |
|
c. |
Hidrologi |
‐ Tidak ada tubuh air di permukaan
tanah (sedang, sungai, air terjun, dll) sekitar obyek wisata ‐ Ada tubuh air dipermukaan tanah
(sedang, sungai, air terjun, dll) sekitar obyek wisata |
1 2 |
|
d. Biosfer |
‐
Tidak ada tumbuhan atau hewan khas di sekitar obyek wisata ‐ Ada tumbuhan atau hewan khas
disekitar obyek wisata |
1 2 |
Sumber : Susanto, 2003
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil
penelitian obyek wisata di Kecamatan
Tawangmangu yang didasarkan pada penilaian metode teknik skoring terhadap
potensi internal, potensi eksternal dan potensi fisik pendukung obyek yang
kemudian di buat potensi gabungan dan kemudian menjadi satu dimana dapat
dirinci sebagai berikut.
1. Teknik Skoring
Teknik Skoring adalah memberikan
nilai skor relatif 1 sampai 3 untuk beberapa variabel penelitian.
a. Klasifikasi Potensi Internal Obyek wisata di Kecamatan
Tawangmangu
Tabel 2. Penilaian
Potensi Internal Obyek Wisata
Kawasan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar
Obyek
wisata |
|
Potensi Inter |
nal |
Total Skor
|
Tingkat
Klasifikasi |
||
|
Kualitas
obyek |
Kondisi
obyek |
|||||
A |
B |
C |
D |
E |
|||
Grojogansewu |
2 |
2 |
2 |
3 |
2 |
11 |
Tinggi |
Taman Ria Balekambang |
1 |
2 |
1 |
3 |
2 |
9 |
Sedang |
Sekipan |
1 |
1 |
1 |
2 |
1 |
6 |
Rendah |
Sumber : Data primer hasil pengamatan 2012
1. Kelas
potensi tinggi bila nilai total skor obyek wisata > 9
2. Kelas
potensi sedang bila nilai total skor obyek wisata 7 - 9
3. Kelas
potensi rendah bila nilai total skor obyek wisata < 7 Keterangan :
A :
Daya tarik utama obyek
B :
Kekuatan interaksi komponen obyek wisata
C :
Kegiatan Wisatawan di lokasi wisata D : Kondisi obyek wisata secara langsung
E : Kebersihan Lingkungan Obyek wisata.
Berdasarkan data diatas menunjukkan
bahwa di Kawasan wisata Kecamatan Tawangmangu terdapat 3 (tiga) obyek wisata,
dengan kondisi klasifikasi rendah, yaitu obyek wisata Sekipan, klasifikasi
sedang adalah Taman Ria Balekambang dan klasifikasi tinggi adalah Grojogansewu.
Tingkat klasifikasi rendah adalah obyek wisata Sekipan disebabkan karena potensi internal mempunyai skor 6, pada
setiap variabel. Daya tarik utama pada obyek wisata ini tidak mampu
mempertinggi obyek namun pada variabel kondisi obyek wisata keadaan obyek
wisata mengalami kerusakan. Tingkat klasifikasi sedang adalah Taman Ria
Balekambang, skor maksimal terdapat pada variabel kekuatan interaksi karena
sebagai alternatif selain mengunjungi obyek wisata Grojogansewu dan keadaan
obyek belum mengalami kerusakan. Klasifikasi tinggi terdapat pada obyek wisata
Grojogansewu. Tingginya nilai klasifikasi ini sebagian besar variabel memiliki
nilai maksimal antara lain kondisi obyek dan kualitas obyek, karena keadaan
obyek masih belum mengalami kerusakan walaupun terdapat coret-coretan yang
tidak berarti terhadap wisatawan. Air terjun grojogansewu mempunyai nilai
maksimal karena pada obyek wisata masih terdapat bagian yang mampu mempertinggi
nilai obyek itu sendiri seperti, di obyek wisata ini masih alami, pohon-pohon
yang ada manambah keindahandan kesejukan khas suasana pegunungan.Pada kegiatan
wisata juga mempunyai nilai tinggi karena pada musim libur obyek ini menjadi
tujuan utama wisatawan.
b. Klasifikasi
Potensi Eksternal Obyek wisata di Kecamatan Tawangmangu
Tabel 3. Penilaian Potensi Eksternal Obyek Wisata
Kawasan Wisata Tawangmangu Kabupaten Karanganyar
Obyek wisata |
|
Potensi eksternal |
|
Skor |
klasifikasi |
|||||||
Aksesibilitas |
Fasilitas penunjang |
Fasilitas pelengkap |
D.Pengembangan obyek |
|||||||||
A |
B |
C |
D |
E |
G |
H |
I |
J |
||||
Grojogansewu |
3 |
3 |
3 |
3 |
3 |
2 |
2 |
2 |
2 |
2 |
25 |
Tinggi |
Taman Ria Balekambang |
3 |
3 |
3 |
2 |
2 |
2 |
2 |
1 |
2 |
2 |
22 |
Sedang |
Sekipan |
2 |
2 |
2 |
1 |
2 |
3 |
2 |
1 |
2 |
2 |
19 |
Sedang |
Sumber : Data Primer hasil pengamatan, 2012
1.
Kelas potensi tinggi bila nilai total skor obyek
wisata > 21
2.
Kelas potensi sedang bila nilai total skor obyek
wisata 16 - 21
3.
Kelas potensi rendah bila nilai total skor obyek
wisata <16 Keterangan :
A :
Waktu tempuh obyek secara langsung
B :
Ketersediaan angkutan umum menuju lokasi obyek
C :
Prasarana jalan menuju lokasi
D :
Fasilitas fisik
E :
Fasilitas sosial
F :
Fasilitas pelengkap G : Keterkaitan antar obyek c. H : Ketersediaan
lahan I : Dukungan paket wisata
J : Promosi obyek wisata
Berdasarkan penilaian potensi eksternal terdapat dua (2)
klasifikasi sedang dan satu (1) obyek wisata dengan
klasifikasi tinggi. Obyek wisata dengan potensi tinggi adalah Grojogansewu
sedangkan obyek wisata dengan klasifikasi sedang adalah Taman ria balekambang
dan Sekipan. Hal ini disebabkan karena sebagian sudah dikembangkan dan kurang
begitu dikembangkan akibat kurangnya lahan untuk areal pengembangan
kurang.Sedangnya tingkat klasifikasi di dua obyek wisata ini, yaitu bahwa
adanya skor sedang di dalam variabel aksesibilitas, yaitu kurangnya angkutan
umum yang belum memadai dan pada variabel fasilitas penunjang obyek yaitu pada
kriteria fasilitas pemenuhan kebutuhan fisik, fasilitas pelengkap dan
ketersediaan lahan.Sedangkan pada obyek wisata dengan klasifikasi tinggi adalah
Grojogansewu, semua mendapat skor maksimal pada setiap variabelnya. Pada
variabel fasilitas pelengkap mendapat skor 2 karena tidak ada lahan untuk
parkir dan tempat beribadah (masjid) di
lokasi obyek wisata ini. Variabel
dukungan pengembangan obyek memenuhi syarat, yaitu sudah mendapat dukungan
paket wisata.
c. Klasifikasi
Potensi Fisik Pendukung Obyek Wisata di
Kecamatan Tawangmangu.
Tabel 4. Penilaian Potensi Fisik Pendukung Obyek
Kawasan Wisata Tawangmangu Karanganyar
Obyek Wisata |
Potensi Fisik Pendukung Obyek |
Total Skor |
Klasifikasi |
|||
Topografi |
Iklim |
Hidrologi |
Biosfer |
|||
Grojogansewu |
2 |
2 |
2 |
2 |
8 |
Tinggi |
TR.Balekambang |
2 |
2 |
2 |
1 |
7 |
Sedang |
Sekipan |
2 |
2 |
1 |
2 |
7 |
Sedang |
Sumber : data Primer Hasil Pengamatan, 2012
1. Kelas
potensi tinggi bila nilai total skor obyek wisata >7
2. Kelas
potensi sedang bila nilai total skor obyek wisata 5 - 7
3. Kelas
potensi rendah bila nilai total skor obyek wisata <5
Data diatas menunjukan bahwa tiga obyek, dengan satu obyek dengan nilai
klasifikasi tinggi dan dua dengan nilai klasifikasi sedang. Klasifikasi tinggi
terdapat pada obyek wisata Grojogansewu dan klasifikasi sedang terdapat pada
obyek wisata Taman Ria Balekambang dan Sekipan. Hal ini di tunjukan dengan
variabel kemampuan fisik wilayah sekitar obyek memiliki kriteria topografi,
iklim, hidrologi dan biosfer yang memiliki nilai maksimal antara 5 – 7 dan >
7.
d. Klasifikasi
Potensi Gabungan
Tabel 5. Klasifikasi Potensi Gabungan Obyek Wisata
Kawasan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar
Obyek
wisata |
Jenis
Klasifikasi Potensi |
Potensi gabungan |
||||||
Internal
|
Eksternal
|
Fisik
|
Total skor |
Kelas
|
||||
Skor |
Kelas
|
Skor |
Kelas
|
Skor |
Kelas
|
|||
Grojogansewu |
11 |
Tinggi
|
25 |
Tinggi |
8 |
Tinggi
|
44 |
Tinggi |
TR.Balekambang
|
9 |
Sedang
|
22 |
Sedang
|
7 |
Sedang
|
38 |
Sedang
|
Sekipan |
6 |
Rendah
|
19 |
Sedang
|
7 |
Sedang
|
32 |
Sedang
|
Sumber : Data Primer (Gabungan Hasil Pengamatan), 2012
1. Kelas
potensi tinggi bila nilai total skor obyek wisata >37
2. Kelas
potensi sedang bila nilai total skor obyek wisata 28 - 36
3. Kelas
potensi rendah bila nilai total skor obyek wisata <27
diatas menunjukan bahwa terdapat
dua obyek wisata kawasan Tawangmangu yang mempunyai nilai klasifikasi sedang
dan satu obyek wisata yang mempunyai nilai klasifikasi tinggi, klasifikasi
sedang berada pada obyek wisata Taman Ria Balekambang dan Sekipan, sedangkan
untuk nilai klasifikasi tinggi berada pada obyek wisata Grojogansewu.
2. Konsep Leading Industry dan Spread effects
Tabel
9. Kreteria Leading Industry dan Spread
effects
Kreteria |
Obyek
Wisata |
||
Grojogansewu
|
Taman Ria
Balekambang |
Sekipan |
|
Karakteristik
|
Air tejun, Hutan wisata,
kolam renang,areal outbond,
Taman bermain dan satwa liar monyet ekor panjang. |
Kolam renang kedalaman 11,5 m , hutan wisata taman
bermain. |
Areal untuk aktifitas perkemahan |
Kondisi
Jalan |
Baik |
Baik |
Kurang Baik |
Cara Pencapaian |
Angkutan umum dan Kendaraan Pribadi |
Angkutan umum dan
Kendaraan Pribadi |
Kendaraan Pribadi |
Kedekatan Obyek dari
Obyek
Pusat |
Obyek Pusat |
300m |
1,5 km |
Sumber : Hasil
Observasi dan Dinas Pekerjaan Umum Kab. Karanganyar, 2012.
Dari Tabel 9. diatas dapat
disimpulkan bahwa obyek wisata di Kecamatan Tawangmangu memenuhi kterteria
untuk pembuatan paket pengembangan kawasan wisata dengan Grojogansewu sebagai
titik pusat dan Taman Ria Balekambang,Sekipan sebagai jeruji pengembangan. Di
bawah ini adalah peta arah pengembangan obyek wisata umbul di Kecamatan
Tawangmangu.
Untuk penilaian Leading industry dan Spread effects menunjukan bahwa obyek wisata Grojogansewu adalah obyek wisata unggulan yaitu menggunakan metode fakta, dapat dilihat bahwa dari data jumlah pengunjung dari tahun 2008-2011 pengunjung yang terbanyak adalah obyek wisata Grojogansewu. Untuk mendukung fakta tersebut maka dilakukan observasi dan wawancara pada obyek kunci “Dinas Pariwisata dan pihak Biro Perjalanan”. Wawancara dilakukan untuk mengetahui Spread effects obyek wisata Grojogansewu terhadap obyek kecil disekitarnya. Dari hasil quisioner yang disebar kepada obyek kunci, dari 15 kantor biro perjalanan/travel dan Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar disebutkan bahwa obyek wisata Grojogansewu menjadi tujuan utama pengunjung kemudian diikuti oleh obyek wisata Taman Ria Balekambang dan Sekipan.
Gambar 2 Peta Prioritas Arah
Pengembangan Obyek wisata di Kecamatan Tawangmangu, 2012.
1. Prioritas dan Arah Pengembagan Wisata di Kecamatan Tawangmangu
Berdasarkan hasil skoring, analisis
SWOT dan konsep Leading Industry di
atas, dapat dirumuskan urutan prioritas pengembangan obyek wisata.
Prioritas pengembangan utama adalah
Obyek wisata Grojogansewu, karena potensi internal, eksternal dan gabungannya
masuk dalam klasifikasi potensi tinggi, total skor 44, Meskipun obyek ini telah
dikembangkan menjadi obyek wisata unggulan di Kabupaten Karanganyar, namun
obyek ini masih menyimpan cukup potensi seperti potensi lahan luas yang dapat
dikembangkan sebagai area wisata
kuliner, pemaksimalan fasilitas pendukung, gencar melakukan promosi obyek di
berbagai media seperti leaflet,
brosur, internet dan lain-lain, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik
bersifat lokal, regional maupun nasional seperti Java Promo. Prioritas
pengembangan kedua adalah obyek wisata Taman Ria Balekambang, ketiga adalah
obyek wisata Sekipan karena keduan Obyek wisata tersebut mempunyai potensi
internal, eksternal dan gabungan yang masuk dalam klasifikasi sedang dengan
total skor 38 dan 32. Sedanagkan urutan
yang ke tiga adalah Sekipan yang mempunyai potensi paling rendah dengan total
skor hanya 32, untuk menggembangkan obyek tersebut akan membutuhkan lebih
banyak biaya, waktu dan tenaga. Sekipan mempunyai ciri khas obyek wisata yaitu
sebagai areal perkemahan dan heaking, namun disisi lain obek ini tidak
mempunyai cukup lahan untuk pengembangan karena disekitar obyek telah digunakan
untuk kawasan hutan, sehingga satu-satunya potensi yang dapat dikembangkan
adalah penambahan wahana atraksi seperti dibangun taman bermain dan outbond.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Obyek
wisata Grojogansewu merupakan obyek wisata dengan klasifikasi potensi gabungan
tinggi karena potensi internal, potensi eksternal dan potensi fisik obyek
mempunyai potensi tinggi dengan total skor 44. Dan obyek wisata yang mempunyai
potensi gabungan sedang adalah obyek wisata Taman Ria Balekambang yaitu dengan
total skor 38 dan Sekipan dengan total skor 32.
b. Berdasarkan
kesamaan jenis dan karakter obyek, kesamaan arah dan pencapaian, serta
kedekatan obyek merupakan kriteria pengembangan dan konsep Leading industridan di dukung menegemen organisasi yang baik dalam
hal pengelolaan dan, promosi di segala media dan kerja sama antar obyek wisata
di kawasan Tawangmangu maka obyek wisata Grojogansewu sebagai obyek wisata
unggulan dan titik pusat pengembangan akan mampu memacu perkembangan obyek
wisata di sekitarnya (Taman Ria Balekambang dan Sekipan) sebagai obyek wisata
pendukung, dengan cara pembuatan paket wisata yang meliputi semua obyek wisata
yang ada di Kecamatan Tawangmangu.
c. Obyek
wisata yang mendapat prioritas utama adalah obyek wisata Grojogansewu walaupun
secara keseluruhan obyek ini berpotensi tinggi, namun obyek wisata ini masih
dapat dikembangkan lagi seperti potensi lahan yang cukup luas untuk dilakukan
pemangunan guna meningkatkan dan menambah wahana atraksi yang ada. Obyek wisata
yang mendapat urutan pengembangan kedua dan ketiga adalah obyek wisata Taman
Ria Balekambang dan ketiga adalah obyek wisata Sekipan karena potensi internal,
potensi eksternanya dan potensi fisik pendukung obyek masuk dalam klasifikasi
sedang. Untuk obyek wisata Sekipan dengan manajemen dan penataan ruang yang
teratur namun karena keseluruhan potensi bernilai rendah, maka untuk
mengembangkan obyek wisata ini akan diperlukan banyak waktu dan tenaga.
2. Saran
1. Grojogansewu
a. Pemaksimalan
potensi lahan yang dapat di kembangkan sebagai areal outbond dan wisata
kuliner.
b. Gencar
melakukan promosi obyek diberbagai media massa seperti leaflet, brosur,
internet majalah dan lain lain.
c. Menjalin
kerjasama dengan pihak lokal, regional maupun nasional untuk menggalang dan dan
meningkatkan kerjasama dengan masyarakat untuk ikut serta melengkapi sarana
prasarana wisata.
d. Pembuatan
paket promo seperti paket liburan keluarga.
e. Menjadi
pusat dalam paket pengembangan Kawasan Grojogansewu yang dapat memberi dampak
positif terhadap perkembangna obyek wisata disekitar obyek wisata disekitarnya.
2. Taman Ria Balekambang
a. Gencar
mempromosikan obyek di berbagai media seperti internet, brosur, koran, radio, leaflet, papan penanda obyek dan
lain-lain.
b. Pengadaan
dan perbaikan fasilitas umum seperti kamar mandi, tempat sampah, tempat parkir.
c. Ikut
serta dalam paket pengembangan kawasan wisata di Kecamatan Tawangmangu.
3. Sekipan
a. Gencar
mempromosikan obyek di berbagai media seperti internet, brosur, koran, radio, leaflet, papan penanda obyek dan
lain-lain.
b. Kerjasama
dengan investor dan pemerintah untuk pendanaan dan pengembangan obyek dan
kerjasam dengan masyarakat untuk pengadaan jasa-jasa seperti warung makan
c. Pengadaan
organisasi pengelola obyek.
d. Ikut
serta dalam paket pengembangan kawasan wisata di Kecamatan Tawangmangu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar